erek erek 2d 34

2024-10-08 01:40:30  Source:erek erek 2d 34   

erek erek 2d 34,jadwal ligue 1 prancis,erek erek 2d 34Jakarta, CNN Indonesia--

Gas air mata menjadi perbincangan netizen Indonesia usai polisi meluncurkan bahan kimia ini ke massa aksi di sejumlah wilayah.

Demonstrasi tersebut merupakan bagian dari gerakan peringatan darurat yang viral di media sosial. Warga ramai-ramai ingin mengawal putusan Mahkamah Konstitusi (MK) soal persyaratan Pilkada usai nyaris diabaikan DPR.

Penggunaan gas air mata oleh polisi di Indonesia memicu kemarahan publik dan meminta aparat setop menggunakan kekerasan. Kemarahan serupa juga sempat menggema di Amerika Serikat.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Chauvin memborgol dia, menjatuhkan ke aspal, serta mencekik dan menindih leher laki-laki tersebut dengan lutut.

Setelah itu, warga AS ramai-ramai turun ke jalan untuk menuntut keadilan atas kematian Floyd. Mereka juga menuntut perubahan sistemik untuk mengatasi rasisme di Negeri Paman Sam.

Namun, gerakan bertajuk Black Lives Matter yang terjadi di banyak kota di AS ditanggapi dengan gas air mata oleh polisi.

Setelah tindakan polisi ke pengunjuk rasa, banyak warga AS murka dan menyerukan pelarangan gas air mata untuk mengendalikan massa dalam negeri.

Organisasi masyarakat pengendalian senjata di AS, Arms Control Association, turut menyampaikan seruan dalam situs mereka pada 2020.

Mereka merilis artikel berjudul "Gas air mata dilarang dalam perang. Inilah saatnya dilarang digunakan dalam negeri."

Asosiasi itu menyebut penggunaan gas air mata yang membabi buta terhadap massa aksi adalah tindakan yang tak bermoral meski diizinkan hukum internasional.

"Sudah saatnya Amerika Serikat melarang penggunaan gas air mata di dalam negeri," ujar mereka.

Lihat Juga :
Rusia Tanpa Ampun Gempur Ukraina Pakai 200 Rudal-Drone Shahed

Konvensi Senjata Kimia (CWC) pada 1993 melarang negara-negara menggunakan bahan kimia beracun dalam perang. AS meratifikasi perjanjian ini pada 1997.

Konvensi tersebut mendefinisikan bahan kimia beracun sebagai "bahan kimia apa pun, terlepas dari asal atau metode produksinya melalui proses kimia yang bisa menyebabkan kematian, ketidakmampuan sementara, atau kerusakan permanen pada manusia atau hewan."

Namun, perjanjian tersebut secara eksplisit memberikan pengecualian penggunaan bahan kimia tertentu dalam negeri untuk mengendalikan huru-hara.

Bahan kimia itu yakni bahan yang dengan cepat menimbulkan iritasi sensorik atau efek fisik yang melumpuhkan pada manusia dan menghilang dalam waktu singkat setelah paparan berakhir.

"Gas air mata termasuk dalam kategori tersebut," lanjut asosiasi pengendali senjata itu.

Lihat Juga :
Alasan Hamas Kembali Tolak Syarat Gencatan Senjata di Gaza

Dalam opini yang rilis di Lembaga think tank Council on Foreign Relations (CFR), pakar hubungan internasional di AS, Jessica Moss, mengatakan layanan militer dan lembaga penegak hukum di seluruh dunia menggolongkan gas air mata, sebagai istilah sehari-hari untuk berbagai senyawa kimia yang digunakan dalam pengendalian kerusuhan.

Para penegak hukum itu menganggap gas air mata sebagai senjata yang tak mematikan.

Meski demikian, Moss menyebut paparan gas air mata bisa menyebabkan kebutaan, luka bakar, gagal nafas, bahkan kematian.

Gas air mata juga bisa membunuh orang saat ditembakkan dari jarak dekat.

Beberapa anggota Demokrat di DPR AS bahkan mengusulkan RUU Larangan Penggunaan Senjata Kimia oleh Penegak Hukum.

Lihat Juga :
Belarus Kerahkan Pasukan Dekat Perbatasan Ukraina, Ada Apa?

RUU tersebut bertujuan melarang petugas penegak hukum federal, negara bagian, dan lokal menggunakan senjata kimia dalam menjalankan tugas kepolisian. RUU ini juga mewajibkan lembaga penegak hukum untuk membuang senjata kimia yang diperoleh untuk tujuan tersebut.

DPR fraksi Demokrat mengenalkan RUU itu pada 15 Juni 2020. Namun, produk hukum ini tak memperoleh suara dan belum disahkan.

Meski belum sah, ketentuan-ketentuan dalam RUU itu bisa menjadi undang-undang jika dimasukkan ke RUU lain, demikian dikutip situs Gov Track.

(isa/bac)

Read more